Seorang lelaki miskin mendatangi seorang saudagar.
“Wahai Saudagar yang baik hati, bisakah kau meminjami aku uang sebesar 100 dirham? Aku akan pergi merantau untuk mengubah nasibku. Uang itu akan kugunakan membeli barang dagangan serta bekal merantau,” kata lelaki miskin.
Saudagar itu berkata, “Kau yakin bisa membayarnya?”
Lelaki miskin itu mengangguk.
“Kalau begitu, carilah beberapa orang saksi agar mereka menjadi saksi atas utang-piutang ini,” saran Saudagar.
“Biarlah Allah yang akan menjadi saksi utang-piutang ini, “ jawab lelaki miskin.
“Kalau Allah memang menjadi saksinya, bawalah orang yang bisa menjamin kepercayaanku kepadamu.”
“Cukuplah Allah menjadi penjaminku.”
Saudagar itu diam sejenak, lalu berkata, “Wahai lelaki miskin, kau benar cukup hanya Allah yang akan menjadi saksi atas penjaminmu.”
Saudagar itu lalu memberikan pinjaman dan si miskin berjanji akan mengembalikan pada kurun waktu tertentu.
Maka pergilah si miskin merantau sambil membawa barang dagangannya. Suatu hari, dia kembali ke kotanya sebab hari itu merupakan jatuh tempo pembayaran utang. Ia kemudian mengunjungi sang saudagar.
“Wahai Sahabatku, atas bantuanmulah aku dapat mengubah nasibku dan atas kehendak Allah semuanya dilancarkan sehingga aku bisa kembali untuk membayar utangku.”
Saudagar itu sangat bersimpati dengan sikap jujur si miskin yang kini telah menjadi orang yang cukup sukses.
“Wahai Saudaraku, sejak kau pergi dari rumahku dengan uang pinjamanmu, sesungguhnya aku tidak menganggapnya sebagai utang. Jadi, kau tidak memiliki kewajiban untuk membayar utangmu. Semua sudah kuikhlaskan. Kedatanganmu kemari sudah menunjukkan bahwa kau menjungjung tinggi janji, meletakkan Allah dalam hatimu, dan keyakinanmu membuat nasibmu berubah. Aku sangat bangga. Bawalah kembai uang itu, utangmu sudah lunas,” kata Saudagar itu sambil tersenyum.
Lelaki yang berutang itu menangis haru, “Sungguh indah manusia seperti dirimu, wahai Sahabat. Kau kaya dan bermanfaat bagi orang lain. Jika semua manusia sepertimu, tidak akan ada orang miskin di dunia ini.”
Akhirnya, lelaki itu menyedekahkan uang 100 dirham kepada orang miskin lainnya dan berharap memberikan manfaat bagi mereka.
“Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari, selagi matahari masih terbit. Mendamaikan dua orang (yang berselisih) adalah sedekah, menolong orang hingga ia dapat naik kendaraan atau mengangkatkan barang bawaan ke atas kendaraannya merupakan sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, setiap langkah kaki yang kau ayunkan menuju ke masjid adalah sedekah, dan menyingkirkan aral (rintangan, ranting, paku, kayu, atau sesuatu yang mengganggu) dari jalan juga merupakan sedekah.” –HR BUKHARI DAN MUSLIM
“Wahai Saudagar yang baik hati, bisakah kau meminjami aku uang sebesar 100 dirham? Aku akan pergi merantau untuk mengubah nasibku. Uang itu akan kugunakan membeli barang dagangan serta bekal merantau,” kata lelaki miskin.
Saudagar itu berkata, “Kau yakin bisa membayarnya?”
Lelaki miskin itu mengangguk.
“Kalau begitu, carilah beberapa orang saksi agar mereka menjadi saksi atas utang-piutang ini,” saran Saudagar.
“Biarlah Allah yang akan menjadi saksi utang-piutang ini, “ jawab lelaki miskin.
“Kalau Allah memang menjadi saksinya, bawalah orang yang bisa menjamin kepercayaanku kepadamu.”
“Cukuplah Allah menjadi penjaminku.”
Saudagar itu diam sejenak, lalu berkata, “Wahai lelaki miskin, kau benar cukup hanya Allah yang akan menjadi saksi atas penjaminmu.”
Saudagar itu lalu memberikan pinjaman dan si miskin berjanji akan mengembalikan pada kurun waktu tertentu.
Maka pergilah si miskin merantau sambil membawa barang dagangannya. Suatu hari, dia kembali ke kotanya sebab hari itu merupakan jatuh tempo pembayaran utang. Ia kemudian mengunjungi sang saudagar.
“Wahai Sahabatku, atas bantuanmulah aku dapat mengubah nasibku dan atas kehendak Allah semuanya dilancarkan sehingga aku bisa kembali untuk membayar utangku.”
Saudagar itu sangat bersimpati dengan sikap jujur si miskin yang kini telah menjadi orang yang cukup sukses.
“Wahai Saudaraku, sejak kau pergi dari rumahku dengan uang pinjamanmu, sesungguhnya aku tidak menganggapnya sebagai utang. Jadi, kau tidak memiliki kewajiban untuk membayar utangmu. Semua sudah kuikhlaskan. Kedatanganmu kemari sudah menunjukkan bahwa kau menjungjung tinggi janji, meletakkan Allah dalam hatimu, dan keyakinanmu membuat nasibmu berubah. Aku sangat bangga. Bawalah kembai uang itu, utangmu sudah lunas,” kata Saudagar itu sambil tersenyum.
Lelaki yang berutang itu menangis haru, “Sungguh indah manusia seperti dirimu, wahai Sahabat. Kau kaya dan bermanfaat bagi orang lain. Jika semua manusia sepertimu, tidak akan ada orang miskin di dunia ini.”
Akhirnya, lelaki itu menyedekahkan uang 100 dirham kepada orang miskin lainnya dan berharap memberikan manfaat bagi mereka.
“Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari, selagi matahari masih terbit. Mendamaikan dua orang (yang berselisih) adalah sedekah, menolong orang hingga ia dapat naik kendaraan atau mengangkatkan barang bawaan ke atas kendaraannya merupakan sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, setiap langkah kaki yang kau ayunkan menuju ke masjid adalah sedekah, dan menyingkirkan aral (rintangan, ranting, paku, kayu, atau sesuatu yang mengganggu) dari jalan juga merupakan sedekah.” –HR BUKHARI DAN MUSLIM